AKU selalu ingin berpesan kepada anak-anakku dan para santri. “Jangan sia-siakan zaman. Ia adalah hidupmu”.
Tasykubri Zadah dalam buku “Miftah al-Sa’adah” mengatakan Isham bin Yusuf dari Balkh (Afghanistan), seorang faqih bermazhab Hanafi dan Muhaddits (ahli Hadits) Balkh (w. 215 H) suatu hari mendadak membeli pensil untuk mencatat pengajian gurunya.
Saat ditanya, dia mengatakan: “Umur itu pendek. Ilmu itu begitu luas. Seorang pelajar seyogyanya tidak membiarkan waktunya berlalu begitu saja. Seyogyanya dia memanfaatkan malam-malamnya dan kesendiriannya untuk membaca dan menulis dan mengaji kepada para guru. Apa yang telah lesat tak bisa ditemukan lagi.”
Lalu dia berpuisi:
وَلَسْتُ بِمُدْرِكِ مَا فَاتَ مِنِّى
بِلَهْفٍ وَلَا بِلَيْتَ وَلَا لَوْ أَنِّى
“Aku tak bisa menemukan lagi apa yang telah hilang. Hanya bisa disesali. Aku Tak bisa lagi berharap dan berandai-andai”.
Kakekku menyampaikan puisi senada dengan puisi di atas. Beliau mendengarnya dari putra gurunya: Hadratussyekh Kiyai Hasyim Asy’ari. Yaitu: KH. Abdul Wahid Hasyim, ayah Gus:
إِذَا فَاتَنِيْ يَوْمٌ وَلَمْ أَصْطَنِعْ يَدًا # وَلَمْ أَستفد عِلْماً فَمَاذَاكَ مِنْ عُمْرِيْ
Bila hari melewatiku,
sedang aku tak berbuat apa pun hari itu
Tak pula aku memetik ilmu
Maka tak ada arti hidupku hari itu
17/10/2019