BETAPA saya harus menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan manakala saya dipertemukan dengan Harry Cahyadi, suatu saat, tiba-tiba dan dengan cara yang amat mengesankan.
Usai ngobrol santai dan bersahabat seperti sudah lama, ia memberi saya sebuah buku “Proclos: Sebuah Pengantar”, karya Radek Chlup, yang diterjemahkannya dengan begitu apik, cermat, akurat dan cemerlang.
Tetapi betapa mengejutkan, manakala dia kemudian meminta saya menulis “kata-kata” untuk sebuah buku tentang pikiran tokoh besar dan seorang filsuf kondang yang bagi saya teramat asing ini. Proclos, nama yang tak pernah melintasi pikiran saya.
Bagaimana mungkin saya dengan latar belakang disiplin pengetahuan keagamaan tradisional (pesantren) sanggup mengarungi pikiran-pikiran filsafat yang begitu rumit berikut term-termnya yang tak banyak saya pahami dan mengerti?
Apalagi dalam kurun waktu sekitar tujuh abad, filsafat menjadi keilmuan yang seperti terlarang dikaji dalam dunia muslim ortodoks. Ia dipandang sebagai entri poin bagi segala petaka.
Sebelum Harry menyerahkan buku itu, saya sempat mengatakan kepadanya: “Tiga peradaban besar: Arya, Persia dan Yunani, hadir dan bergumul di tengah-tengah dunia gelap, untuk satu cita-cita yang sama: “Menyebarkan Cahaya Ketuhanan dan membebaskan petaka kemanusiaan”.
Mereka telah menemukan Cahaya itu dalam belukar dan gelap alam semesta, meski melalui jalan, cara dan bahasa yang berbeda-beda. Dan dunia kemudian berpendar cahaya.
Berabad kemudian, ketika Cahaya itu nyaris redup dan sekarat dan Akademia Plato di Athena disegel oleh Gereja, sarjana-sarjana muslim sekitar dua abad kemudian hadir di Alexandria, Mesir, lalu menyelamatkan dan menghidupkannya kembali.
Mereka membaca pikiran-pikiran Plato melalui karya-karya Plotinus lalu murid-muridnya: Proclos, Porphyrius dan lain-lain.
Saya kemudian membacanya halaman demi halaman secara acak dan tertatih-tatih buku tebal berhalaman 532 itu. Dan saya menemukan kerumitan-kerumitan yang tajam, mendalam dan meluas.
Meski Harry, filsuf muda itu, telah menerjemahkan secara baik dan berusaha membuat pembacanya mengerti, tetapi ia masih tetap menyisakan kerumitan-kerumitan tersendiri.
Kata demi kata dirangkai dalam susunan yang demikian ketat, khas tulisan filsuf, seperti tak ingin meninggalkan gugatan-gugatan pembacanya. Pemula yang membaca karya ini tak pelak akan dibuat lelah berhari-hari.
Buku ini bicara tentang gagasan-gagasan filsafat Neoplatonisme secara luas, dan secara khusus bagaimana pikiran-pikiran Proclos, seorang penganut Neoplatonisme akhir terkemuka. Buku ini sungguh-sungguh sangat menarik.
Ia menghadirkan pikiran-pikiran Proclos di tengah-tengah pikiran-pikiran penganut Neoplatonisme pada umumnya dengan seluruh dimensi pikiran filsafat yang saling terkait; metafisika, etika, logika dan filsafat alam.
Dalam pikiran saya pembacaan atas pikiran-pikiran filsafat Neoplatonisme yang bicara tentang hakikat ketuhanan, alam semesta dan manusia, terus menciptakan kebingungan-kebingungan yang akut dan seperti tak akan pernah selesai.
Ia begitu musykil. Pendekatan atasnya melalui logika rasional saja tidak selalu menemukan jawaban yang dapat memuaskan semua orang.