Saya seorang santri dari sebuah desa di Cirebon. Suatu hari mengalami nyaris ekstase. Tanggal 13 Nopember 2013 saya atas nama Fahmina Institute, memeroleh kehormatan untuk menyampaikan pidato di depan para akademisi sebuah universitas tua di Washington DC, Amerika Serikat: “Georgetown University”.
Pidato itu disampaikan dalam rangka penerimaan penghargaan internasional untuk kerja-kerja kemanusiaan.
Opus Prize diberikan setiap tahun oleh Opus Prize Foundation yang berbasis di Amerika Serikat, kepada individu atau organisasi yang berhasil membuat perubahan dan menyelesaikan persoalan paling nyata yang dihadapi masyarakat sekitarnya.
Fahmina Institute merupakan salah satu organisasi sosial yang dianggap berhasil menggerakkan sejumlah program inovatif untuk membangun komunitas sekitar dan mengajak warga memahami isu-isu kemanusiaan terutama: Gender, Pluralisme, Demokrasi dan HAM.
Penghargaan Opus Prize yang sangat membanggakan itu merupakan bentuk perhatian komunitas dunia atas upaya-upaya masyarakat dalam membangun dirinya untuk kehidupan sosial yang lebih baik, berkeadilan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Mengapa dan Untuk Apa?
Pertanyaan utama banyak orang adalah apa motif yang mendasari gerakan Fahmina, mengapa dan untuk apa semua itu dilakukan?
Fahmina lahir didesak oleh kesadaran teologis bahwa warga harus digerakkan untuk memaknai kembali eksistensinya sebagai manusia yang merdeka dan bermartabat di dalam sebuah negara bangsa yang plural baik dari sisi sosial ekonomi, gender maupun keyakinan, setelah.
Sistem politik lama yang sentralistik, seragam dan represif yang berlangsung sekitar 30 tahun, tidak menyediakan ruang atas keragaman serta sikap kritis warga negara. Ini telah menciptakan kehidupan yang stagnan, rapuh dan rentan gesekan sosial.
Situasi ini juga telah menghasilkan kebodohan dan kemiskinan sosial yang masif, rasa saling curiga yang mudah menyulut konflik berbasis sentimen keagamaan, etnis dan sosial ekonomi.
Dalam stuktur sosial seperti ini kaum minoritas agama, gender, anak-anak menjadi pihak yang sangat rentan kehilangan eksistensinya. Mereka didiskriminasi dan dimarginalkan.
Di hadapan realitas sosial di atas Fahmina berpendapat bahwa sebuah perubahan harus dilakukan. Dan perubahan ini harus digerakkan dari dalam dan melalui tradisi masyarakatnya sendiri.
Fahmina berkeyakinan bahwa transformasi sosial akan menemukan signifikansi dan efektivitasnya yang kuat jika dijalankan melalui atau bersama tradisi dan budaya yang dikenali masyarakatnya.
Sebaliknya, perubahan sosial akan gagal manakala tercerabut dari akar tradisi dan historisitasnya. Dari sini Fahmina membuat jargon; “Bersama Tradisi untuk Keadilan dan Kemanusiaan”.
Langkah Fahmina untuk mewujudkan gagasan itu adalah mengembangkan wacana keagamaan dan sosial melalui pembacaan kritis dan kontekstual atas warisan intelektual Islam yang menjadi basis pengetahuan keagamaan Pesantren.
Fahmina sadar bahwa ia hidup di tengah-tengah budaya masyarakat yang menjadikan agama sebagai landasan berpikir, berekspresi, bergerak dan berkebudayaan. Cirebon, tempat institusi ini berada, dikelilingi ratusan pusat pendidikan keagamaan Islam tradisional yang disebut Pesantren.
Para pendiri Fahmina juga sadar bahwa mereka lahir dan tumbuh dari rahim tradisi intelektual keagamaan pesantren. Dari pesantren pula memeroleh pengetahuan dan ajaran-ajaran keagamaan bahwa “agama dihadirkan untuk manusia dan dalam kerangka mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan”.
Bahkan saya acap menyampaikan secara lebih tegas: “Agama hadir untuk manusia, bukan untuk Tuhan, dalam rangka kemanusiaan”.
Di hadapan para sarjana, intelektual dan aktivis kemanusiaan yang hadir pada acara penganugerahan “Opus Prize” itu saya menyebut ayat suci Alquran:
الر ۚ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”.
Dunia gelap adalah dunia yang diliputi kebodohan dan kezaliman, dan dunia bercahaya adalah dunia yang diliputi ilmu pengetahuan dan keadilan. Ini adalah misi utama Islam menuju visi: Rahmatan Li al-‘Alamin”, Kasih Sayang semesta.
Nabi Muhammad berkali-kali menegaskan bahwa pekerjaan manusia yang paling disukai Tuhan adalah melepaskan penderitaan manusia, menghilangkan rasa lapar mereka, membagi kegembiraan/ kebahagiaan di hati dan menyebarkan kedamaian.
“Islam hadir untuk mewujudkan moralitas luhur, kebaikan dan kasih-sayang, bukan untuk melahirkan kerusakan, kebodohan dan kebencian. Inilah tujuan semua agama dan jalan yang ditempuh para bijak besari dan orang-orang yang berakal”, kata Ibnu Rusyd.
Nah, oleh karena itu, Agama harus memberikan jalan keluar bagi problematik dan kesulitan hidup manusia. Seluruh gerakan sosial keagamaan harus diarahkan bagi terciptanya suatu kehidupan yang bermartabat, berkeadilan, demokratis dan menghargai hak-hak fundamental manusia. Islam menekankan nilai-nilai tersebut sebagai kewajiban normatif dan berlaku universal.
Pada sisi yang lain Islam mengambil sikap tegas untuk menolak kezaliman, arogansi, diskriminasi dan individualisme. Singkat kata agama menuntut umatnya berjuang keras (jihad) untuk mewujudkan dua hal secara simultan; menciptakan moralitas kemanusiaan yang luhur dan menghapuskan segala praktik dehumanisasi.
Dalam kerangka di atas, demokrasi harus menjadi mekanisme sosial untuk merumuskan gagasan-gagasan dan kehendak-kehendak manusia dalam kehidupan bersamanya. Demokrasi meniscayakan tersedianya ruang kebebasan bagi setiap orang untuk dapat mengekspresikan dan mengaktualisasikan kehendak-kehendaknya dalam suasana kesetaraan dan saling menghormati. Kehendak-kehendak manusia yang plural itu harus diselesaikan dalam ruang dialog yang terbuka, santun dan penuh kearifan, tanpa pemaksaan, apalagi kekerasan, sebagaimana dinyatakan Alquran; Q.S. al-Nahl, 125 dan Q.s. Al-Imran, 159.
Nah dari basis teologis tersebut, Fahmina Institute sepanjang perjalanannya sampai hari ini bekerja untuk mengembangkan tiga agenda besar: “Islam dan Pluralisme”, Islam dan Gender” dan “Penguatan Otonomi Komunitas”.
Melalui tiga agenda tersebut, kami melakukan proses interaksi dan dialog intensif dengan elemen-elemen sosial dan keagamaan yang beragam dan strategis, khususnya pesantren, guna menemukan solusi bersama atas problem-problem sosial yang dihadapi menyangkut isu-isu kemanusiaan di atas.
Dalam waktu yang sama Fahmina aktif mendampingi dan mengadvokasi komunitas-komunitas basis yang dimarginalkan oleh sistem sosial, budaya, politik dan ekonomi, seperti pedagang kaki lima dan pengamen jalanan.
Fahmina berusaha menawarkan cara-cara yang memampukan komunitas untuk mengelola sendiri potensinya sekaligus memecahkan kerumitan-kerumitan yang mereka hadapi.
Selama 19 tahun, Fahmina telah melakukan kerja sama dengan institusi-institusi agama, sosial dan budaya dan individu-individu berpengaruh (para tokoh), terutama di wilayah III Cirebon yang meliputi 4 kabupaten, 1 kota madya.
Kerja sama program juga dilakukan dengan lembaga-lembaga negara yang relevan, terutama Kepolisian. Kerja sama ini diselenggarakan dalam rangka mendiskusikan, mendialogkan dan memusyawarahkan sekaligus mencari jalan keluar bersama atas sejumlah isu kemanusiaan, sebagaimana yang menjadi program Fahmina di atas.
Fahmina juga menerbitkan buletin mingguan dan tiga bulanan serta buku-buku, dan terbitan yang lain. Dan terakhir menerbitkan buku “Metode Mubadalah”, Resiprosity atau kesalingan.
Dalam lima tahun terakhir Fahmina bersama mitra dan steakholder bekerja untuk menangkal radikalisme dan ujaran kebencian (Hate Speech).
Merawat Cita-cita
19 tahun sudah fahmina bekerja untuk mewujudkan cita-cita kemanusiaan di atas. Membaca realitas hari ini kami merasakan betapa makin besar tantangan kemanusiaan di masa depan. Oleh karena itu kami harus menjaga dan merawat cita-cita tersebut melalui pendirian sejumlah institusi baru.
Tahun 2007 Fahmina mendirikan Institute Studi Islam Fahmina yang menjadi pusat kajian, penelitian dan pengajian. Lalu menginisiasi dan memfasilitasi pendirian “Baitul Hikmah” sebuah wadah yang bekerja untuk mensosialisasikan dan mendiskusikan isu-isu “Kesehatan Reproduksi” di Pondok Pesantren dan Sekolah Menengah.
Lalu menggagas pendirian “Pelita” (Pemuda Lintas Iman), Sebuah wadah bagi para pemuda dari berbagai agama dan kepercayaan untuk bertukar pengalaman dan berdiskusi tentang isu-isu kebangsaan dan kemanusiaan.
Kemudian Fahmina juga menginisiasi dan memfasilitasi pendirian dan aktivitas “Setaman” (Sekolah Cinta Perdamaian) tempat bertemunya para pelajar sekolah menengah dan kaum remaja dari beragam latar belakang agama dan budaya untuk saling mengenal, memahami, dan belajar tentang keberagaman, kebhinekaan, dan perdamaian, bagaimana mengelola perbedaan, keberagaman, kebhinekaan menjadi kekuatan untuk mewujudkan perdamaian.
Dan terakhir, pada tahun 2018, Fahmina mendirikan Sekolah Dasar Islam terpadu berbasis sistem Montessori. Bulan ini kami membuka “Pesantren Fahmina”.
Semoga semuanya bermanfaat bagi umat manusia.
13 November 2019